Allah subhanahu wa ta’ala sangat menghargai niat baik dari hamba-Nya, sekecil apapun niat baik itu. Asalkan niat baik itu benar-benar tulus ikhlas karena Allah, maka pasti akan bernilai kebaikan pula di sisi Allah. Bahkan ketika niat baik itu belum sempat terwujud karena ada udzur yang menghalanginya, Allah masih tetap mencatat pahala kebaikan untuk niat tersebut.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sebagian para sahabat yang tidak bisa ikut serta berangkat berjihad karena terhalang udzur sakit, tetapi mereka tetap mendapatkan pahala berjihad. Dari Jabir radliallahu ‘anhu dia berkata,
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي غَزَاةٍ فَقَالَ “ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ ” . وفى رواية: ”إلا شاركوكم في الأجر” ((رواه مسلم)).
“Kami pernah ikut berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu peperangan, ketika itu beliau bersabda: “Ada beberapa orang laki-laki di Madinah yang mereka tidak ikut serta dalam peperangan, biasanya jika kalian pergi berperang sedangkan kalian melewati suatu lembah, mereka tetap turut bersama-sama kamu, namun mereka sekarang terhalang karena sakit.” Dalam riwayat yang lain, “Melainkan mereka juga mendapatkan pahala seperti kalian.” (HR. Muslim no. 1911 a)
Dalam hadis yang lain, dari Anas radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu peperangan pernah bersabda,
إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ.
“Sesungguhnya ada kaum yang berada di Madinah tidak ikut berperang bersama kita, tidaklah kita mendaki bukit, tidak pula menyusuri lembah melainkan mereka bersama kita (dalam mendapat) pahala berperang karena mereka tertahan oleh udzur (alasan) yang benar”. (HR. Bukhari no. 2839)
Hadis tersebut menjadi dalil bahwa orang yang mempunyai niat baik dan tekad kuat untuk mengerjakan suatu amal shalih, tetapi kemudian ia belum mewujudkan amal shalih tersebut karena adanya suatu udzur, maka ia tetap mendapat pahala sebagaimana orang yang mengerjakannya. (Syeikh Faishal bin Abdul Aziz al-Mubarak, Tathriz Riyadhus Shalihin hal. 13)
Ketika menjelaskan hadis ini, Syeikh Ibnu Utsaimin merinci penjelasan tentang pahala seseorang yang belum sempat mewujudkan niat baiknya menjadi dua kategori, yaitu; mendapatkan pahala sempurna dan hanya mendapatkan pahala niat. (Syarh Riyadhus Shalihin hal. 36-38)
- Mendapatkan Pahala Sempurna
Jika sebelumnya seseorang telah terbiasa mengerjakan suatu amalan, tetapi kemudian muncul kondisi yang membuatnya terhalang melakukan amalan tersebut, maka ia tetap tercatat mendapat pahala sempurna seperti orang yang mengerjakan amalan tersebut dalam kondisi normal. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bepergian (lalu beramal), maka ditulis baginya (pahala) seperti ketika dia beramal sebagai mukim dan dalam keadaan sehat”. (HR. Bukhari no 2996)
Sebagai contoh, ketika seseorang sudah terbiasa menjalankan shalat berjamaah di Masjid, tetapi kemudian ia jatuh sakit yang membuatnya tidak bisa menghadiri shalat berjamaah, maka ia tetap mendapatkan pahala sempurna sebagaimana orang yang mengerjakan shalat berjamaah, tanpa dikurangi sedikitpun.
Demikian juga dengan amal shalih yang lain, misalnya ketika seseorang sudah terbiasa rutin menjalankan shalat sunnah atau puasa sunnah, tetapi suatu hari ia tidak bisa mengerjakan amal shalih tersebut sebagaimana biasanya karena adanya udzur, maka ia tetap dihitung mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakan.
- Hanya Mendapatkan Pahala Niat
Adapun jika seseorang memiliki niat untuk melakukan suatu amalan yang sebelumnya bukan menjadi kebiasaannya, kemudian ia mengalami udzur dan belum sempat mewujudkan amalan tersebut, maka ia masih dicatat mendapatkan pahala dari niat baiknya tersebut, tetapi bukan pahala beramal.
Dasarnya adalah hadis tentang orang-orang fakir dari kalangan sahabat Muhajirin yang merasa iri dengan pahala para sahabat yang kaya. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat ketinggian dan kenikmatan yang abadi. Orang-orang kaya shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dan kami tidak bisa melakukannya, mereka bisa membebaskan tawanan dan kami tidak bisa melakukannya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang karenanya kalian bisa menyusul orang-orang yang mendahului kebaikan kalian, dan kalian bisa mendahului kebaikan orang-orang sesudah kalian, dan tak seorang pun lebih utama daripada kalian selain yang berbuat seperti yang kalian lakukan?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi, “Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap habis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.” Mereka kemudian mangamalkannya. Lalu orang-orang kaya mengetahui hal itu dan ikut mengamalkannya seperti apa yang mereka amalkan. Kemudian orang-orang fakir tersebut datang lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah! Ternyata teman-teman kami yang banyak harta telah mendengar yang kami kerjakan, lalu mereka mengerjakan seperti itu!” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya!”. (HR. Muslim no. 595 a)
Rasulullah tidak mengatakan kepada mereka bahwa, “Kalian mendapatkan pahala amalan mereka”, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa mereka mendapatkan pahala niat beramal tersebut.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang orang yang diberi karunia harta oleh Allah subhanahu wa ta’ala lalu ia infakkan di jalan kebaikan, dan ada seorang fakir yang berkata, “Seandainya aku memiliki harta seperti si Fulan, maka sungguh akan aku amalkan semua amalan si Fulan” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menjelaskan,
فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
Maka dia dengan niatnya dan keduanya sama-sama dalam pahala. (HR. Tirmidzi no. 2325)
Demikian besar apresiasi Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang yang memiliki niat untuk berbuat kebaikan. Seorang muslim yang cerdas tentu tidak akan menyia-nyiakan hal ini dengan bermalas-malasan mengerjakan amal shalih, justru ia akan semakin bersemangat untuk berusaha memperbanyak amal shalih dan bersungguh-sungguh meluruskan niatnya dalam beramal semata-mata untuk Allah. Karena ia tahu, Allah selalu menghargai usaha dan perjuangan hamba-Nya sekecil apapun itu, bahkan jika hanya berupa niat.