Tolak ukur kemuliaan seorang hamba di mata Allah terletak pada ketakwaannya, bukan pada perkara-perkara lahiriah seperti rupa, fisik, dan lain sebagainya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim no. 2564 b)
Senada dengan hadis tersebut, Allah subhanahu wa ta’alajuga menegaskan dalam firman-Nya di surat al-Hujurat ayat 13,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚإِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚإِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS Al-Hujurat: 13)
Allah tidak memandang bentuk tubuh dan keindahan rupa seseorang, apakah tubuhnya itu besar atau kecil, sehat ataukah sakit, apakah wajahnya rupawan ataukah tidak, semuanya itu tidak ada nilainya di mata Allah. Demikian juga, Allah tidak memandang seseorang berdasarkan nasab dan hartanya. Tidak peduli seseorang dari kalangan strata sosial tinggi maupun rendah, apakah ia kaya ataukah miskin, Allah selamanya tidak memandang semua itu. Hubungan antara Allah dan hamba-Nya hanya didasarkan pada tingkat ketakwaannya. Siapa yang paling bertakwa, maka dialah yang paling dekat dengan Allah dan paling mulia di sisi-Nya.
Oleh karena itu, tidaklah pantas seseorang membangga-banggakan hartanya, keelokan rupa wajahnya, fisiknya, keturunannya, rumah-rumah megahnya, kemewahan fasilitas hidup, dan lain sebagainya dari perkara dunia.
Kemuliaan seseorang di mata Allah hanya ditentukan oleh kondisi hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dalam sabdanya,
وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
Akan tetapi Allah melihat kepada hati kalian
Hati menjadi poros dari segala amal. Di sanalah tempatnya niat, keikhlasan, dan ketakwaan. Betapa banyak manusia yang amal perbuatannya tampak bagus dan lurus secara lahiriah, tapi ternyata bernilai rusak di mata Allah karena dibangun di atas niat yang salah. Maka bisa jadi dua orang terlihat dalam barisan shaf shalat yang sama, mengikuti satu imam shalat yang sama, gerakan shalat dari awal sampai akhir pun juga sama, tapi sesungguhnya antara keduanya sama sekali berbeda seperti perbedaan barat dan timur. Yang demikian itu bisa terjadi karena dibangun di atas niat yang berbeda. Boleh jadi yang satu shalat dalam kondisi hati yang lalai dan seringkali dilandasi motivasi duniawi, sementara yang satunya shalat dengan benar-benar menghadirkan keikhlasan dan semata-mata mengharapkan ridha Allah.
Oleh karena itu, penting bagi seseorang untuk selalu memperhatikan keadaan hatinya. Sudahkah hatinya diisi dengan keikhlasan dalam beramal semata-mata karena Allah dan membersihkannya dari segala bentuk niat yang salah? Karena melalui hati itulah Allah menilai baik buruknya seseorang, bukan melalui fisik, rupa, dan berbagai tolak ukur keduniawian lainnya. Dan hendaknya seseorang mengarahkan kelebihan yang ia miliki dari perkara duniawi untuk meraih keridhaan Allah. Hanya dengan begitulah predikat takwa bisa diraih dan bernilai kemuliaan di sisi Allah.